Ternyata kumpulan ulama Wahhabi itu ingin menyatukan antara fatwa tokoh-tokoh ulama mereka yang sebagian menyatakan bahwa ‘tabarruk’ merupakan perbuatan bid’ah sedang yang lain menyatakan itu merupakan perbuatan syirik, dengan menfatwakan bahwa “Pencarian berkah (tabarruk) masuk kategori bid’ah dan bagian dari bentuk syirik”. Poin inilah yang harus kita garis bawahi dan kita ingat-ingat untuk bekal pembahasan kita nantinya.
————————————
Mengambil
Berkah (Tabarruk) Merupakan Perbuatan Bid’ah atau Syirik? (Bag-1)
(Tabarruk Merupakan Perbuatan Bid’ah atau Syirik?, Sebuah
Pengantar)
Salah
satu dari kejelasan ajaran agama (Dharuriyaat ad-Diin) yang menjadi kesepakatan
segenap kelompok muslim adalah berkaitan dengan pengkhususan peribadatan kepada
Allah swt. Hal ini termasuk dari asas-asas dasar agama. Islam tidak
memperkenankan pengikutnya untuk menyembah selain Allah swt. Ini adalah esensi
dasar (ushuluddin) ajaran agama para nabi dan rasul terdahulu, terkhusus agama
Muhammad saw yang bernama Islam. Islam tidak mengizinkan penyembahan terhadap
Malaikat, nabi ataupun rasul, apalagi berhala. Islam akan menghukumi pelaku
peribadatan selain Allah swt tersebut sebagai kafir yang musyrik. Ini tiada
seorangpun dari kaum muslimin yang memahami Islam yang meragukannya. Bagaimana
tidak, sedang ia setiap sehari mengulang-ngulang kata: “Hanya kepada-Mu kami
menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan” (Iyyaka Na’budu wa
Iyyaka Nasta’in).
Salah
satu hal yang dinyatakan syirik oleh kelompok dan aliran Wahaby (salafy) adalah
pengambilan berkah (tabarruk) dari sesuatu yang dianggap sakral. Dengan tuduhan
itu mereka dengan seenaknya lantas menyerang kaum muslim sebagai pelaku bid’ah
ataupun syirik. Dalam berbagai kesempatan ulama mereka mengeluarkan fatwa-fatwa
yang menyebutkan seperti apa yang telah disebutkan tadi, vonis ahli bid’ah dan
syirik. Pada kesempatan ini, kita akan lihat beberapa contoh fatwa mereka:
1-
Bin Baz (Abdul Aziz) dalam kitab “al-Fatawa al-Islamiyah” jilid 4 halaman 29
menatakan: “Meletakkan al-Quran dalam kendaraan (mobil) untuk mencari berkah
(tabarruk) merupakan sesuatu yang tidak berasas (tidak ada asalnya) dalam
syariat Islam”.
Dengan
kata lain, Abdul Aziz bin Baz menyatakan bahwa perbuatan semacam itu (mencari
berkah) merupakan perbuatan bid’ah.
2-
Ibn Utsaimin dalam kitab “Majmu’at al-Fatawa li Ibni Utsaimin” fatwa nomer 366
menyatakan: “Mengambil berkah dari kisa’ (kain yang melingkari .red) Ka’bah dan
mengusap-usapnya merupakan perbuatan bid’ah, karena Nabi tidak pernah
mengajarkannya”. Dalam kasus yang sama (tabarruk) juga ia sebutkan dalam kitab
“Dalil al-Akhtha’” halaman 107 disebutkan: “Sebagian penziarah mengusapkan
tangannya ke mihrab, mimbar dan tembok-tembok masjid. Semua prilaku itu masuk
kategori bid’ah”.
Inilah
fatwa syeikh (Utsaimin) yang namanya selalu dicantumkan dalam situs dan
blog-blog kaum Wahaby, selain Bin Baz di atas tadi.
3-
Ibn Fauzan dalam kitab “al-Bid’ah” halaman 28-29 menyatakan: “Tabarruk
mempunyai arti mencari berkah, penetapan kebaikan, meminta kebaikan dan meminta
tambahan dari hal-hal tadi. Permintaan ini harus diminta dari sesuatu yang
pemiliknya adalah yang memiliki kemampuan. Ini tidak lain hanyalah Allah
semata. Hanya Ia Yang mampu menurunkan dan menetapkannya. Tiada satu makhlukpun
yang mampu memberi ampunan, memberi berkah ataupun mengadakan dan menetapkan
hal-hal tadi. Atas dasar itu, tidak diperbolehkan mengambil berkah dari
tempat-tempat, peninggalan-peninggalan ataupun seseorang, baik yang masih hidup
maupun yang telah mati. Karena hal itu bisa masuk kategori syirik”.
Jika
tadi Bin Baz dan Bin Utsaimin menyebutnya sebagai perbuatan bid’ah maka
sekarang Bin Fauzan lebih berani dari kedua orang ulama Wahaby sebelumnya tadi.
Ia telah berani menyatakan bahwa “Pencari Berkah Tergolong Musyrik”. Mari kita
lanjutkan penelitian dari kajian kita ke contoh terakhir dari fatwa mereka
(kaum Wahabi yang berkedok Salafi).
4-
Gerombolan ulama Wahaby yang terhimpun dalam “al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts
al-Ilmiyah wa al-Ifta’” (Tim Tetap Pengkaji dan Pemberi Fatwa) dalam fatwanya
nomer 3019 menyatakan: “…perhatian masyarakat terhadap masjid ini dengan
mengusap-usap tembok dan mihrab untuk mencari berkah merupakan pekerjaan bid’ah
dan juga masuk dari salah satu jenis syirik. Perbuatan ini sama dengan
perbuatan kaum kafir pada zaman jahiliyah”.
Ternyata
kumpulan ulama Wahhabi itu ingin menyatukan antara fatwa tokoh-tokoh ulama mereka
yang sebagian menyatakan bahwa ‘tabarruk’ merupakan perbuatan bid’ah sedang
yang lain menyatakan itu merupakan perbuatan syirik, dengan menfatwakan bahwa
“Pencarian berkah (tabarruk) masuk kategori bid’ah dan bagian dari bentuk
syirik”. Poin inilah yang harus kita garis bawahi dan kita ingat-ingat untuk
bekal pembahasan kita nantinya.
Definisi
Tabarruk:
Dari
sisi bahasa, kata ‘tabarruk’ berarti “mencari berkah” (lihat: kitab Lisan
al-Arab jilid 10 halaman 390, kitab Shihah al-Lughah jilid 4 halaman 1075 dan
kitab an-Nihayah jilid 1 halaman 120). Dengan begitu, sewaktu dikatakan bahwa
“mencari berkah terhadap sesuatu” berarti “keinginan mengambil berkah dari
sesuatu tadi”. Atas dasar itulah maka definisi tabarruk dari sisi istilah
adalah; “Mengharap berkah dari sesuatu ataupun hal-hal lain yang Allah swt
telah memberikan keistimewaan dan kedudukan khusus kepadanya”. [Sastro H]
Bersambung…
Tentu
sangat mudah bagi Allah untuk mengembalikan penglihatan Nabi Yakqub tanpa
melalui proses pengambilan berkah semacam itu. Namun harus kita ketahui hikmah
di balik itu. Terkadang Allah swt menjadikan beberapa benda menjadi ‘sumber
berkah’ agar menjadi ‘sebab’ untuk mencapai tujuan yang dikehendaki-Nya. Selain
karena Allah swt juga menginginkan agar manusia mengetahui bahwa terdapat
benda-benda, tempat-tempat, waktu-waktu dan pribadi-pribadi yang memiliki
kesakralan karena mempunyai kedudukan khusus di mata Allah swt. Sehingga semua
itu dapat menjadi sarana Allah swt memberkati orang untuk mencapai kesembuhan
dari penyakit, pengkabulan doa, pensyafaatan dalam pengampunan dosa dan lain
sebagainya.
——————————————-
——————————————-
Mengambil Berkah (Tabarruk)
Merupakan Perbuatan Bid’ah atau Syirik? (Bag-2)
(Tabarruk dalam Pandangan al-Quran)
Setelah
kita mengetahui fatwa-fatwa ‘pengkafiran’ ulama Wahaby (tuduhan bid’ah dan
syirik) berkaitan dengan kaum muslimin yang melaksanakan pencarian berkah
(tabarruk) pada seseorang, tempat, waktu dan sesuatu yang diangap sacral, maka
sekarang kita akan melihat terminology tabarruk dalam al-Quran, sebelum kita
jauh melangkah ke depan.
Berkah
dan Tabarruk dalam al-Quran
Kita
sebagai seorang muslim yang meyakini akidah Tauhid pasti meyakini bahwa Allah
swt adalah Pencipta (Khaliq) dan Pengatur (Rab) alam semesta. Dengan
kesempurnaan absolut (mutlak) yang Dia miliki, Ia menciptakan dan mengatur alam
semesta. Segala yang ada di alam semesta ini tiada yang tidak tercipta
dari-Nya. Oleh karenanya, tidak satupun yang berada di alam ini pun tidak
tergantung keada-Nya, termasuk dalam kelangsungan eksistensi dan hidupnya.
Allah swt Pemilik segala otoritas kesempurnaan.
Dalam
al-Quran, penggunaan kata ‘berkah’ sering akan kita jumpai. Sebagaimana dalam
pembahasan syafa’at, ilmu ghaib dan sebagainya (yang pada kesempatan lain
insya-Allah akan kita bahas nantinya), secara mendasar dan murni (esensial)
“berkah” dan “pemberian berkah” hanya berasal, milik dan hak priogresif Allah
swt semata. Oleh karenanya, kita jumpai ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah
swt memberikan berkah kepada makhluk-makhluk-Nya. Contoh ayat-ayat yang Allah
swt telah memberkati seseorang sehingga berkah itu terdapat pada diri
pribadi-pribadi yang diberkati tersebut:
1-
Berkaitan dengan Nabi Nuh as beserta pengikutnya, Allah swt berfirman: “Hai
Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami atasmu
dan atas umat-umat (yang mukmin) dari orang-orang yang bersamamu…” (QS Hud:
48).
2-
Berkaitan dengan Nabi Ibrahim as Allah swt berfirman: “Maka tatkala dia tiba di
(tempat) api itu, diserulah dia: “Bahwa Telah diberkati orang-orang yang berada
di api itu, dan orang-orang yang berada di sekitarnya…” (QS an-Naml: 8).
3-
Berkenaan dengan Nabi Ishak as Allah swt berfirman: “Kami limpahkan keberkatan
atasnya dan atas Ishaq…” (QS as-Shaafat: 113).
4-
Berkenaan dengan Nabi Isa as Allah swt berfirman: “Dan dia menjadikan Aku
seorang yang diberkati di mana saja Aku berada…” (QS Maryam: 31).
Sedang
ayat-ayat yang menyatakan bahwa ada beberapa tempat yang telah diberikan berkah
oleh Allah swt sehingga tempat itu menjadi tempat yang sakral, seperti:
5-
Allah swt telah memberi berkah kepada Masjidil Haram di Makkah: “Sesungguhnya
rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah
yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia”
(QS Aali Imran: 98).
6-
Allah swt telah memberi berkah kepada Masjidil Aqsha di Palestina: “Maha Suci
Allah, yang Telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil
Haram ke Al Masjidil Aqsha yang Telah kami berkahi sekelilingnya agar kami
perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami…” (QS
al-Isra’: 1).
7-
Allah swt telah memberi berkah kepada lembah Aiman: “Maka tatkala Musa sampai
ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah Aiman pada tempat
yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu…” (QS al-Qoshosh: 30).
Dan
terkadang yang menjadi obyek berkah Ilahi adalah sesuatu (benda) sampai pada
pohon dan waktu. Sebagai contoh:
8-
Allah swt telah memberikan berkah kepada al-Quran: “Dan Al-Quran itu adalah
Kitab yang Kami turunkan yang diberkati, Maka ikutilah dia dan bertakwalah agar
kamu diberi rahmat” (QS al-An’am: 155).
9-
Allah swt telah memberikan berkah kepada pohon zaitun: “Pelita itu di dalam
kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang
dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang
tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya)…”
(QS an-Nur: 35).
10-
Allah swt telah memberkahi air hujan: “Dan Kami turunkan dari langit air yang
diberkati lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman
yang diketam” (QS Qof: 9).
11-
Allah swt telah memberkati malam dimana al-Quran turun (lailatul Qadar): “
Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi..” (QS
ad-Dukhon: 3).
Setelah
mengetahui obyek-obyek berkah Ilahi maka mungkin saja timbul pertanyaan;
bagaimana para umat terdahulu, apakah mereka juga mengambil berkah? Allah swt
dalam al-Quran menjelaskan hal tersebut seperti yang dicantumkan dalam
ayat-ayat berikut:
12-
Dalam surat al-Baqarah ayat 248 Allah swt telah mengisakan tentang pengambilan
berkah Bani Israil terhadap tabut (peti .red) yang didalamnya tersimpan
barang-barang sakral milik kekasih Allah, Nabi Musa as. Allah swt berfirman:
“Dan nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya tanda ia akan menjadi
raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari
Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu
dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu,
jika kamu orang yang beriman”.
‘Peti’
itu adalah peti dimana Musa kecil telah diletakkan oleh ibunya ke sungai Nil
dan mengikuti aliran sungai sehingga ditemukan oleh istri Firaun, untuk diasuh.
Para Bani Israil mengambil peti itu sebagai obyek untuk mencari berkah
(tabarruk). Setelah Nabi Musa as meninggal dunia, peti itu disimpan oleh washi
(patner) beliau yang bernama Yusya’, dan di dalamnya disimpan beberapa
peninggalan Nabi Musa yang masih berkaitan dengan tanda-tanda kenabian Musa.
Setelah sekian lama, Bani Israil tidak lagi mengindahkan peti tersebut, hingga
menjadi bahan mainan anak-anak di jalan-jalan. Sewaktu peti itu masih berada di
tengah-tengah mereka, Bani Israil masih terus dalam kemuliaan. Namun setelah
mereka mulai melakukan banyak maksiat dan tidak lagi mengindahkan peti itu,
maka Allah swt menyembunyikan peti tersebut dengan mengangkatnya ke langit.
Sewaktu mereka diuji dengan kemunculan Jalut mereka mulai merasa gunda.
Kemudian mereka mulai meminta seorang Nabi yang diutus oleh Allah swt ke
tengah-tengah mereka. Lantas Allah swt mengutus Tholut. Melalui dialah para
malaikat pesuruh Allah mengembalikan peti yang selama ini mereka remehkan.
Az-Zamakhsari
dalam menjelaskan apa saja barang-barang yang berada di dalam peti itu menyatakan:
“Peti itu adalah peti Taurat. Dahulu, sewaktu Musa berperang (melawan
musuh-musuh Allah) peti itu diletakkan di barisan paling depan sehingga
perasaan kaum Bani Israil merasa tenang dan tidak merasa gunda…adapun firman
Allah yang berbunyi “dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun” berupa
sebuah papan bertulis, tongkat beserta baju Nabi Musa (as) dan sedikit bagian
dari kitab Taurat” (Lihat Tafsir al-Kasyaf jilid 1 halaman 293).
Lihatlah,
betapa Nabi yang diutus oleh Allah swt kepada Bani Israil itu telah
memerintahkan kepada Bani Israil untuk tetap menjaga peninggalan Nabi Musa dan
Nabi Harun berupa peti dengan segala isinya yang mampu memberikan ketenangan
pada jiwa-jiwa mereka. Pemberian ketenangan melalui peti itu tidak lain karena
Allah swt telah memberikan berkah khusus kepada peninggalan kedua Nabi mulia
tersebut. Sehingga sewaktu Bani Israil tidak lagi mengindahkan peninggalan yang
penuh barakah itu maka Allah swt mengujimereka dan tidak lagi memberkahi
mereka. Ini sebagai bukti betapa sakral dan berkahnya peninggalan itu, dengan
izin Allah swt.
Dalam
ayat lain Allah menjelaskan tentang pengambilan berkah seorang pribadi mulia
seperti Nabi Yakqub as terhadap baju putranya, Nabi Yusuf as. Allah swt
berfirman: “Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia
kewajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu semuanya
kepadaku” (QS Yusuf: 93). Dalam kisah itu, saudara-saudara Nabi Yusuf telah
melaksanakan perintah saudaranya itu. Ayah Nabi Yusuf (Nabi Yakqub) yang buta
akibat selalu menangisi kepergian Yusuf, pun akhirnya pulih penglihatanya
karena diusap oleh baju Yusuf. Itu semua berkat ‘barakah’ yang dicurahkan oleh
Allah swt kepada baju Yusuf. Az-Zamakhsyari kembali dalam kitab tafsirnya
menjelaskan tentang hakekat baju Yusuf dengan mengatakan: “Dikatakan: itu
adalah baju warisan yang dihasilkan oleh Yusuf dari permohonan (doa). Baju itu
datang dari Sorga. Malaikat Jibril telah diperintahkan untuk membawanya kepada
Yusuf. Di baju itu tersimpan aroma sorgawi yang tidak ditaruh ke orang yang
sedang mengidap penyakit kecuali akan disembuhkan” (Lihat Tafsir al-Kasyaf
jilid 2 halaman 503).
Tentu
sangat mudah bagi Allah untuk mengembalikan penglihatan Nabi Yakqub tanpa
melalui proses pengambilan berkah semacam itu. Namun harus kita ketahui hikmah
di balik itu. Terkadang Allah swt menjadikan beberapa benda menjadi ‘sumber
berkah’ agar menjadi ‘sebab’ untuk mencapai tujuan yang dikehendaki-Nya. Selain
karena Allah swt juga menginginkan agar manusia mengetahui bahwa terdapat
benda-benda, tempat-tempat, waktu-waktu dan pribadi-pribadi yang memiliki
kesakralan karena mempunyai kedudukan khusus di mata Allah swt. Sehingga semua
itu dapat menjadi ‘sarana’ Allah swt memberkati orang untuk mencapai kesembuhan
dari penyakit, pengkabulan doa, pensyafaatan dalam pengampunan dosa, dan lain
sebagainya.
Jika
para nabi biasa memiliki kemuliaan semacam itu, lantas bagaimana dengan benda
(spt: mihrab dan mimbar), tempat (spt: rumah, masjid dan makam), waktu (spt:
peringatan hari kelahiran/maulud, perkawinan, hijrah, Isra’-Mi’raj dan wafat)
dan mengenang keutamaan (melalui bacaan Maulid Diba’ atau Barzanji) yang
berkaitan langsung dengan pribadi agung seperti Rasulullah saw, penghulu para
nabi dan rasul, makhluk Allah yang paling sempurna sebagaimana yang telah
dicantumkan dalam berbagai ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis shohih? (Nantikan
pada episode selanjutnya). [Sastro H]
Bersambung…
Para
sahabat mulia nabi yang tergolong Salaf Saleh mereka telah mengambil berkah
dari Nabi dengan menyentuh tubuh (jasad) Rasul, mencium tangan beliau, meminum
sisa minuman beliau, mengambil sisa air wudhu, memunguti rambut beliau, meminta
berkah dari Rasul untuk bayi-bayi mereka dan lain sebagainya. Imam al-Muslim
dalam kitab Shohih al-Muslim jilid 1 halaman 164, bab Hukmu Bauli at-Thifl
ar-Rodhi’ atau pada jilid 6 halaman 176, bab Istihbab Tahnik al-Maulud
menjelaskan secara gamblang tentang prilaku para Salaf Saleh dalam mengambil
berkah Rasul untuk anak-anak mereka. Apakah sampai sini kaum Salafy masih tetap
memaksakan diri untuk mengatakan bahwa bertabaruk kepada pribadi mulia dan
pemilik keutamaan sedang ia masih hidup adalah sesuatu yang masuk kategori
Syirik atau Bid’ah? Mungkinkah para Salaf Saleh (sahabat Rasul) semua tadi
adalah pelaku syirik dan bid’ah? Mungkinkah Rasul membiarkan bahkan meridhoi
para sahabatnya melakukan syirik dan bid’ah?
——————————————-
——————————————-
Mengambil Berkah (Tabarruk)
Merupakan Perbuatan Bid’ah atau Syirik? (Bag-3)
(Tabarruk Para Salaf Saleh dari Pribadi Rasul)
Setelah
kita mengenal konsep ‘Tabarruk’ versi al-Quran yang menyatakan bahwa sebagian
nabi mengizinkan atau bahkan melakukan “pengambilan berkah” (tabarruk) dari
‘sesuatu’ selain Allah swt dan tergolong hasil ciptaan Allah, dimana tentu kaum
Wahaby tidak akan pernah berani menvonis orang mulia seperti Nabi Yakqub sebagai
pelaku syirik karena telah melakukan pencarian berkah dari baju Nabi Yusuf.
Sekarang, giliran kita akan melanjutkan kajian kita kepada masalah; “Tabarruk
dari tinjauan hadis”. Dalam penjelasan edisi ini, kita akan buktikan bawa
ternyata para Salaf Saleh (Sahabat Nabi) telah melakukan perbuatan yang versi
Wahaby tergolong perbuatan Syirik atau Bid’ah, mencari berkah.
Berkah
dan Tabarruk dalam as-Sunnah
Penyebab
kelompok Salafy mengatasnamakan dirinya sebagai Salafy adalah karena ‘konon’
mereka ingin menegakkan ajaran Salaf Saleh yang selama ini tidak diindahkan
lagi oleh umat Muhammad, padahal ajaran Salaf Saleh pasti benar dan harus
selalu ditegakkan. Di sini, kita akan sebutkan bukti-bukti bahwa para Salaf
Saleh telah melakukan ‘tabarruk’ (pencarian berkah) yang dikategorikan
perbuatan syirik dan bidah oleh kelompok Salafy, yang pada hakekatnya Wahaby
itu.
Agar
kajian kita lebih terfokus maka kita bagi kajian hadis kita kali ini pada
beberapa pembagian berikut:
-
Pertama: Tabarruk para Sahabat (Salaf Saleh) terhadap Rasulullah saw,
sewaktu masa hayat beliau.
-
Kedua: Tabarruk para Sahabat dan para Tabi’in (Salaf Saleh) terhadap
peninggalan Rasul, pasca wafat beliau.
-
Ketiga: Tabarruk kaum muslimin terhadap peninggalan para pendahulu dari
para nabi, sahabat Nabi, tabi’in dan para kekasih Ilahi (Waliyullah).
Untuk
itu, marilah kita perhatikan hadis-hadis yang menjadi argumen kita serta
mengadakan sedikit analisa dari beberapa sisinya:
I-
Tabarruk para Sahabat (Salaf Saleh) terhadap Rasulullah saw, sewaktu masa hayat
beliau.
Di
sini kita akan menyebutkan beberapa riwayat sebagai bukti bahwa para sahabat
mulia Nabi yang tergolong Salaf Saleh mereka telah mengambil berkah dari Nabi
dengan menyentuh tubuh (jasad) Rasul, mencium tangan beliau, meminum sisa minuman
beliau, mengambil sisa air wudhu, memunguti rambut beliau, meminta berkah dari
Rasul untuk bayi-bayi mereka dan lain sebagainya.
Imam
al-Muslim dalam kitab Shohih al-Muslim jilid 1 halaman 164, bab Hukmu Bauli
at-Thifl ar-Rodhi’ atau pada jilid 6 halaman 176, bab Istihbab Tahnik al-Maulud
menjelaskan secara gamblang tentang prilaku para Salaf Saleh dalam mengambil
berkah Rasul untuk anak-anak mereka. Atas dasar itu, Ibnu Hajar dalam kitab
al-Ishobah jilid 3 halaman 638 (detailnya pada: Huruf waw, bagian pertama, bab
waw kaf, tarjamah Walid bin Uqbah, nomer 9147) menjelaskan: “Setiap bayi pada
masa hidup Rasulullah dihukumi sebagai pribadi yang telah melihat Rasul. Hal
itu karena syarat-syarat terlaksananya kaum Anshar dalam mendatangkan anak-anak
mereka kepada Rasul agar dipeluk dan diberi berkah (tabarruk) telah terpenuhi”.
Hingga dikatakan: “Sewaktu Makkah ditaklukkan (fath), para penghuni Makkah pun
berdatangan kepada Nabi dengan membawa anak-anak mereka supaya dapat dibelai
(diusap) kepalanya oleh beliau yang lantas beliau doakan”.
a-
Tabarruk para sahabat untuk para bayi mereka:
1-
Dari ummu Qais: “Suatu saat beliau mendatangi Rasululah dengan membawa serta
anaknya yang masih kecil, yang masih belum memakan makanan. Lantas Rasulullah
meletakkanya di pangkuannya. Tiba-tiba anak itu kencing di pakaian beliau.
Kemudian beliau meminta air dan menyiramkannya (pada pakaian) dan tidak
mencucinya”. (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 halaman 62 kitab al-Ghasl,
Kitab Sunan an-Nasa’i jilid 1 halaman 93 bab Baul as-Shobi al-Ladhi lam Ya’kul
at-Tho’am, Kitab as-Sunan at-Turmudzi jilid 1 halaman 104, Kitab as-Sunan Abu
Dawud jilid 1 halaman 93 bab Baul as-Shobi Yushibus Tsaub dan Kitab as-Sunan
Ibnu Majah jilid 1 halaman 174).
Ibnu
Hajar berkata: “Dari hadis ini memberikan beberapa pengertian; Penekanan akan
pergaulan secara baik, rendah diri (Tawadhu’), memeluk anak bayi dan pemberian
berkah dari pribadi yang memiliki kemuliaan, dan membawa anak kecil pra dan
pasca kelahiran” (Lihat Kitab Fathul-Bari jilid 1 halaman 326 kitab al-Wudhu’
bab Baul as-Shobi hadis ke-223).
2-
Dari Ummul Mukminin Aisyah: “Dulu, Rasulullah selalu didatangkan bayi
(kepadanya) yang kemudian beliau peluk mereka untuk diberi berkah“ (Lihat:
Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 7 halaman 303 kitab al-Wudhu bab 59
bab Baul as-Shibyan hadis ke-223).
3-
Dari Abdurrahman bin ‘Auf, beliau berkata: “Tiada seorang yang baru melahirkan
kecuali bayi itu didatangkan kepada Rasul untuk didoakan” (Lihat: Kitab
al-Mustadrak as-Shohihain karya al-Hafidz al-Hakim an-Naisaburi jilid 4 halaman
479 dan Kitab al-Ishobah karya Ibnu Hajar jilid 1 halaman 5 dalam Khutbah
kitab, bagian kedua).
4-
Dari Muhammad bin Abdurrahman pembantu (maula) Abi Thalhah yang berbicara
tentang Muhammad bin Thalhah, beliau berkata: “Sewaktu Muhammad bin Thalhah
lahir, aku membawanya kepada Rasulullah untuk dipeluk dan didoakannya. Hal
itulah yang dilakukan Rasul kepada para bayi yang ada” (Lihat: Kitab al-Ishobah
karya Ibnu Hajar jilid 5 halaman 5 pada Khutbah Kitab, bagian kedua).
b- Tabarruk sahabat dari tubuh Rasulullah saw:
b- Tabarruk sahabat dari tubuh Rasulullah saw:
“Sewaktu
Rasulullah datang ke pasar, beliau melihat Zuhair berdiri untuk menjual barang.
Tiba-tiba beliau datang dari arah punggungnya lantas memeluknya dari belakang
hingga tangan beliau menyentuk dadanya. Kemudian Zuhair marasakan bahwa orang
itu adalah Rasulullah. Lantas ia berkata: Aku lantas mengusapkan pungungku pada
dadanya untuk mendapatkan berkah dari beliau” (Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad
bin Hanbal jilid 3 halaman 938 hadis ke-12237, Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah
jilid 6 halaman 47 yang telah dinyatakan keshohihannya dengan menyatakan bahwa
perawinya semuanya dapat dipercaya (tsiqoh) dan Kitab Sirah Dahlan jilid 2
halaman: 267).
c-
Tabarruk sahabat dari rambut Rasulullah saw:
1-
Dari Anas, beliau berkata: “Aku melihat Rasulullah sedang dipangkas rambutnya
oleh tukang potong, sedang para sahabat mengerumuninya dan mereka tidak
membiarkan sehelaipun rambut beliau jatuh melainkan di salah satu tangan
mereka” (Lihat: Kitab Shahih Muslim dengan syarah Imam Nawawi jilid 15 halaman
83, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 3 halaman 591, Kitab as-Sunan
al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 7 halaman 68, Kitab as-Sirah al-Halabiyah jilid
3 halaman 303, Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah jilid 5 halaman 189 dan Kitab
Musnadaat ibn Malik hadis ke-11955).
2-
Dari Abdullah bin Zaid, beliau berkata: “…maka Rasulullah dipangkas rambutnya
dengan mengenakan baju, lantas beliau memberikannya (rambut) kepada orang-orang
(sahabat) untuk dibagi. Kemudian beliau memotong kuku yang kemudian diberikan
kepada sahabatnya. Lantas ia (Abdulah bin Zaid) berkata: Kudapati hal itu
diwarnai dengan pacar, yaitu; rambut beliau.” (Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad
bin Hanbal jilid 4 halaman 630 hadis ke-16039, Kitab as-Sunan al-Kubra karya
al-Baihaqi jilid 1 halaman 68 dan Kitab Majma’ az-Zawa’id jilid 4 halaman 19).
3-
Dari Abu Bakar, beliau berkata: “Tiada Fath (penaklukan tanpa peperangan .red)
terbesar yang dilakukan Islam melainkan Fath Hudaibiyah. Akan tetapi kala itu,
orang-orang banyak yang kurang memahami hubungan antara Muhammad dengan
Tuhannya…Suatu hari, ketika haji wada’, aku melihat Suhail bin Amr berdiri di
tempat penyembelihan (binatang kurban) dekat dengan Rasulullah bersama ontanya
yang saat itu beliau menyembelih onta dengan tangannya sendiri. Kemudian beliau
memanggil tukang cukur untuk mencukur rambut kepalanya. Aku melihat Suhail
memunguti rambut beliau yang berjatuhan. Aku melihatnya meletakkan (rambut
tadi) di kelopak matanya. Aku mengingat keengganan beliau (untuk menghapus),
sehingga beliau menetapkan pada hari Hudaibiyah untuk menulis kata
Bismillahirrahmanirrahim” (Lihat: Kitab Kanzul Ummal karya Muttaqi al-Hindi
al-Hanafi jilid 10 halaman 472 hadis-30136).
d-
Tabarruk sahabat dari keringat Rasulullah saw:
1-
Dari Anas bin Malik, beliau berkata: “Ummu Salamah selalu menghamparkan tikar
kulit untuk Nabi, lantas beliau tidur di atas hamparan tersebut. Sewaktu beliau
tertidur, lantas ia (Ummu Salamah .red) mengambil keringat dan rambut Nabi dan
diletakkan ke dalam botol dan dikumpulkan dalam tempat minyak wangi” (Lihat:
Kitab Shohih al-Bukhari jilid 7 halaman 14 kitab al-Isti’dzan).
Ibnu
Hajar dalam mensyarahi riwayat ini mengatakan: “Dengan menyebutkan rambut dalam
kisah ini sangatlah mengherankan sekali. Sebagian orang menyatakan bahwa rambut
beliau tersebar (terurai) ketika berjalan. Kemudian ketika aku melihat riwayat
Muhammad bin Sa’ad yang masih samar. Riwayat itu memiliki sanad (jalur) yang
sahih dari Tsabit bin Anas, bahwa sewaktu Nabi saw mencukur rambutnya di Mina
Abu Thalhah mengambil rambut beliau dan menyerahkannya kepada Ummu Salamah.
Lantas ia meletakkannya ke dalam tempat minyak wangi. Ummu Salamah berkata:
Beliau datang ke (rumah)-ku dan tidur di atas hamparan milikku sehingga
keringat beliau mengalir (terkumpul)” (Lihat: Kitab Fathul Bari jilid 11
halaman 59 atau Kitab Thabaqot al-Kubra jilid 8 halaman 313).
e-
Tabarruk sahabat dari air wudhu Rasulullah saw:
1-
Dari Abu Juhfah, beliau berkata: “Aku mendatangi Nabi sewaktu beliau berada di
Qubbah Hamra’ dari Adam. Kulihat Bilal (al-Habasyi) mengambil air wudhu Nabi.
Lantas orang-orang bergegas untuk berwudhu juga. Barangsiapa yang mendapatkan
sesuatu dari air wudhu tadi maka akan menggunakannya sebagai air basuhan. Namun
bagi siapa yang tidak mendapatkannya maka ia akan mengambil dari basahan (sisa
wudhu) yang berada di tangan temannya”.
Dalam
lafad itu dikatakan: “Rasul pergi menuju Hajirah bersama kami, lantas beliau
mengambil air wudhu. Kemudian orang-orang mengambili air bekas wudhu beliau
untuk dijadikan bahan basuhan (dalam berwudhu)” (Lihat: Kitab Shahih al-Bukhari
jilid 1 halaman 55 dalam kitab wudhu bab Isti’malu Fadhli Wudhu’in Nas, Kitab
shohih al-Muslim jilid 1 halaman 360, Kitab Sunan an-Nasa’i jilid 1 halaman 87,
Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 5 halaman 398 hadis ke-18269, Kitab
as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 1 halaman 395 dalam bab al-Iltiwa’ fi
Hayya ‘ala as-Shalah dan Kitab ad-Dala’il an-Nubuwah karya al-Baihaqi jilid 1
halaman 183).
2-
Dari Ibnu Shahab, beliau berkata: “Aku mendapat kabar dari Mahmud bin Rabi’, ia
berkata: Dia adalah orang yang Rasul telah meludah pada wajahnya, saat itu ia
adalah kanak-kanak di daerah mereka. Berkata Urwah, dari al-Masur dan selainnya
–masing-masing saling mempercayai temannya-: Ketika Nabi melaksanakan wudhu,
seakan mereka hendak saling bunuh-membunuh untuk mendapatkan air wudhu beliau”
(Lihat: Kitab Shahih al-Bukhari jilid 1 halaman 55 dalam kitab wudhu bab
Isti’malu Fadhli Wudhu’in Nas, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 6 halaman
594 hadis ke-23109 dan Kitab Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 246).
Ibnu
Hajar dalam mensyarahi hadis tersebut menyatakan: “Apa yang dilakukan Nabi
terhadap Mahmud, kalau tidak karena tujuan bersendau gurau, atau untuk memberi
berkah kepadanya. Hal itu sebagaimana yang pernah beliau lakukan kepada
anak-anak para Sahabat lainnya” (Lihat: Kitab Fathul Bari jilid 1 halaman 157
dalam bab Mata Yashihhu Sima’ as-Shoghir).
Sebagaimana
banyak dari para perawi dan penghapal hadis yang meriwayatkan kisah kedatangan
Urwah bin Mas’ud as-Tsaqofi kepada kaum Quraisy pra perjanjian damai (Suluh) di
Hudaibiyah. Kala itu ia heran melihat prilaku sahabat terhadap Nabi, ia
mengatakan –menjelaskan apa yang dilihatnya-; “Tiada beliau melakukan wudhu
kecuali mereka (sahabat) bersegera (untuk mengambil berkah). Tiada beliau
meludah kecuali merekapun bersegera (untuk mengambil berkah). Tiada salembar
rambutpun yang rontok kecuali mereka memungutnya”. Dalam riwayat lain
disebutkan; “Demi Allah, sewaktu Rasul mengeluarkan dahak dan dahak itu
mengenai telapak tangan seseorang maka orang tadi akan mengusapkannya secara
rata ke seluruh bagian muka dan kulitnya. Jika beliau memerintahkan sesuatu
niscaya mereka bersegera (untuk melaksanakannya). Jika beliau mengambil air
wudhu maka mereka bersegera seakan-akan hendak saling membunuh memperebutkan
(bekas air) wudhu beliau”. (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 halaman 66
dalam kitab al-Wudhu’ dan jilid 3 halaman 180 dalam kitab al-Washoya, Kitab
Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 5 halaman 423 dalam hadis panjang
nomer-18431, Kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 9 halaman 219 bab
al-Muhadanah ‘ala an-Nadhar Lilmuslimin, Kitab Sirah Ibnu Hisyam jilid 3
halaman 328, Kitab al-Maghozi karya al-Waqidi jilid 2 halaman 598 dan Kitab Tarikh
al-Khamis jilid 2 halaman 19).
3-
Dari Sa’ad, beliau berkata; Aku mendengar dari beberapa sahabat Rasul seperti
Abu Usaid, Abu Humaid dan Abu Sahal ibn Sa’ad, mereka mengatakan: “Suatu saat,
Rasulullah mendatangi sumur ‘Badho’ah’ kemudian beliau mengambil wudhu melalui
ember lantas (sisanya) dikembalikan ke dalam sumur. Kemudian beliau mencuci
mukanya kembali, dan meludah ke dalamnya (ember) dan meminum airnya (sumur).
Dan jika terdapat orang sakit di zaman beliau maka beliau bersabda: “Mandikan
dia dengan air sumur Bidho’ah”, maka ketika dimandikan, seakan simpul tali itu
telah lepas (sembuh)” (Lihat: Kitab at-Thobaqoot al-Kubra jilid 1/2 halaman 184
dan Kitab Sirah Ibnu Dahlan jilid 2 halaman 225).
4-
Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, beliau berkata: “Ketika aku sakit yang tak
kunjung sembuh, Rasulullah menjengukku. Lantas Rasulullah mengambil air wudhu,
kemudian beliau siramkan sisa air wudhu beliau, kemudian sembuhlah penyakitku”
(Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 halaman 60 / jilid 7 halaman 150 /
jilid 8 halaman 185 dan jilid 9 halaman 123).
5-
Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, beliau berkata: “Sewaktu Nabi berwudhu pada
sebuah baskom, lantas (sisa air tadi) aku tuang ke dalam sumur milik kami”
(Lihat: Kitab Kanzul Ummal jilid 12 halaman 422 hadis ke-35472).
6-
Dari Abi Musa, beliau berkata: “Rasul mengambil air pada sebuah tempat. Lantas
beliau membasuh kedua tangan dan wajahnya. Kemudian kembali memuntahkan air itu
ke dalamnya. Lantas beliau bersabda: Minumlah kalian berdua dari (air) itu. Dan
sisakanlah untuk muka dan leher kalian berdua” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari
jilid 1 halaman 55 kitab al-Wudhu bab Isti’mal Fadhli Wudhuin Naas).
Ibnu
Hajar berkata: “Tujuan dari semua itu –memuntahkan kembali air- adalah untuk
memberikan berkah kepadanya (air)” (Lihat: Kitab Fathul Bari jilid 1 halaman 55
kitab Wudhu bab Isti’mal Fadhli Wudhuin Nas, dan atau jilid 8 halaman 37 bab
Ghozwah at-Tha’if).
7-
Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Aku telah meminum (air) sementara aku dalam
keadaan puasa. Bersabda (Rasul): Kenapa kamu melakukan hal itu? Ia berkata:
Demi untuk mendapat sisa minummu, karena aku tidak akan pernah
menyia-nyiakannya sedikitpun. Aku tidak mampu untuk menyia-menyiakannya. Ketika
aku mampu melakukannya maka aku akan meminumnya” (Lihat: Kitab Musnad Imam
Ahmad bin Hanbal jilid 7 halaman 575 hadis ke-26838 dan Kitab at-Thabaqot
al-Kubra jilid 8 halaman 109).
Semua
riwayat di atas tadi membuktikan bahwa dalam sejarah telah terbukti bahwa para
sahabat mulia Rasul telah melakukan tabarruk pada masa kehidupan beliau.
Sebenarnya masih banyak riwayat-riwayat lain lagi yang bisa kita sebutkan di
sini. Namun untuk mempersingkat, maka kami hanya menyebutkan riwayat-riwayat
tadi saja, sebagai argumen pertama, Tabarruk para sahabat mulia Rasul pada masa
kehidupan Nabi. Kami tidak tahu, apakah sampai sini kaum Salafy masih tetap
memaksakan diri untuk mengatakan bahwa bertabarruk dari pribadi mulia dan
pemilik keutamaan sedang ia masih hidup adalah sesuatu yang masuk kategori
Syirik atau Bid’ah? Mungkinkah para Salaf Saleh (sahabat Rasul) semua tadi
adalah pelaku syirik dan bid’ah? Mungkinkah Rasul membiarkan bahkan meridhoi
para sahabatnya melakukan syirik dan bid’ah?
Pembahasan
kita selanjutnya adalah menyebutkan beberapa riwayat yang membuktikan bahwa
para Salaf Saleh telah bertabarruk terhadap peninggalan Rasul, pasca wafat
beliau.
[Sastro
H]
Bersambung…
Jika
rambut Rasul seperti rambut kebanyakan orang lantas kenapa para Salaf Saleh
mengharapkannya, dan bahkan menghendaki rambut itu dikubur bersamanya sewaktu
meninggal dunia? Apakah itu juga tergolong perbuatan syirik? Benarkah Salaf
Saleh melakukan kesyirikan? Ini yang harus dijawab oleh kaum Wahabi.
——————————————
Mengambil Berkah (Tabarruk)
Merupakan Perbuatan Bid’ah atau Syirik? (Bag IV)
(Tabarruk Para Sahabat dari Peninggalan Nabi, Pasca Wafat
Rasul)
Setelah
kita sebutkan beberapa contoh hadis-hadis yang berkaitan dengan tabarruk para
sahabat terhadap diri Rasul pada masa hidup beliau, kini kita akan memasuki
sesi kedua yang membahas tentang;
II-
Tabarruk para Sahabat (Salaf Saleh) terhadap peninggalan Rasul, pasca wafat
beliau.
Imam
al-Bukhari dalam kitab shahih beliau menuliskan satu bab khusus tentang
“Tentang baju besi (untuk perang .red), tongkat, pedang, gelas dan cincin Nabi,
serta apapun yang dilakukan para khalifah pasca (wafat) beliau dari
barang-barang tersebut yang belum disebutkan; dari rambut, sandal dan nampan
yang diambil berkahnya oleh para sahabat dan selainnya, pasca wafat beliau”
(bab; Maa dzakara min Dir’un Nabi wa ‘Ashohu wa Saifihi wa Qodhihi wa Khotamihi
wa Maa Ista’mala al-Khulafa’ Ba’dahu min Dzalika Mimma Lam Yudzkar Qisamatuhu,
wa min Sya’rihi, wa Na’lihi wa Aaniyatihi mimma tabarraka Ashabuhu wa Ghairuhum
ba’da Wafatihi). Hanya Imam Bukhari yang menyebutkan bab tersebut dalam kitab
Shahih beliau, yang tidak dilakukan dalam kitab enam (Kutub as-Sittah) yang
menjadi kitab standart Ahlusunah wal Jama’ah yang ada. (Lihat: Kitab Shohih
al-Bukhari jilid 4 halaman 46 di bab yang sama)
Adapun
mengenai hadis-hadis yang membuktikan bahwa para Sahabat yang -tergolong Salaf
Saleh- telah melakukan tabarruk terhadap barang-barang peningalan Rasul pasca
wafat beliau, seperti:
A-
Tabarruk para Sahabat dari rambut Nabi:
1-
Dari Abdullah bin Muhib, beliau berkata: “Istriku menyuruhku untuk pergi ke
Ummu Salamah dengan membawa gelas berisikan air –dengan pegangan tangan Israil
seukuran tiga jari- dan terdapat di dalamnya sepotong rambut Nabi. Jika
terdapat seseorang yang terkena mata (penyakit ‘ain .red) ataupun sesuatu (yang
lain) maka akan dikirim kepadanya alat pemacar (pewarna rambut .red). Kemudian
kulihat dengan berjinjit, ternyata di situ kudapati terdapat rambut merah”
(Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 7 halaman 207).
2-
Sewaktu Muawiyah akan mati, ia mewasiatkan agar dikuburkan dengan baju, sarung
dan selendang juga sebagian rambut Nabi. (Lihat: Kitab al-Ishobah jilid 3
halaman 400, Kitab Tarikh Damsyiq jilid 59 halaman 229 dan Kitab as-Sirah
al-halabiyah jilid 3 halaman 109)
3-
Sewaktu Umar bin Abdul Aziz hendak meningal dunia, ia membawa rambut dan kuku
Nabi seraya berkata: “Jika aku mati maka letakkan rambut dan kuku ini pada
kafanku” (Lihat: Kitab at-Thobaqoot jilid 5 halaman 406 tentang (tarjamah) Umar
bin Abdul Aziz).
4-
Baluran mayat (Hanuth) jenazah Anas bin Malik terdapat sejumput misik dan
selembar rambut Rasulullah. (Lihat: Kitab at-Thobaqoot jilid 7 halaman 25
tentang (tarjamah) Anas bin Malik)
5-
Salah seorang putera Fadhl bin ar-Rabi’ telah memberikan tiga lembar rambut
kepada Abu Abdillah (yaitu; Ahmad bin Hanbal) sewaktu beliau di penjara. Lantas
beliau berkata: “Ini adalah bagian rambut Nabi”. Lantas Abu Abdillah
mewasiatkan agar sewaktu beliau meninggal hendaknya masing-masing rambut tadi
diletakkan pada kedua belah matanya, sedang satu sisanya diletakkan pada
lidahnya. (Lihat: Kitab Shifat as-Shofwah jilid 2 halaman 357).
6-
Dari Ibnu Syirin, beliau berkata: Aku berkata kepada Ubaidah: “Kami memiliki
rambut Nabi. Kami mendapatkannya dari Anas ataupun dari keluarga Anas”. Lantas
ia bekata: “Jika aku memiliki selembar rambut saja maka akan lebih kusukai
daripada dunia beserta isinya” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 halaman
51 kitab al-Wudhu, bab al-Maa’ al-Ladzi Yughsal Sya’rul Insan).
7-
Al-Waqidi menjelaskan bahwa Ummul Mukminin Aisyah telah ditanya: “Darimana
engkau mendapatkan rambut itu?”. Ia berkata: “Sesungguhnya sewaktu Rasul
mencukur kepala beliau di haji maka orang-orang memisahkan rambutnya. Lantas
kami mendapatkannya sebagaimana orang-orang pun mendapatkannya” (Lihat: Kitab
al-Maghozi jilid 3 halaman 1109).
Jika
rambut Rasul seperti rambut kebanyakan orang lantas kenapa para Salaf Saleh
mengharapkannya, dan bahkan menghendaki rambut itu dikubur bersamanya sewaktu
meninggal dunia? Apakah itu juga tergolong perbuatan syirik? Benarkah Salaf
Saleh melakukan kesyirikan? Ini yang harus dijawab oleh kaum Wahabi.
B-
Tabarruk para Sahabat dari gelas Nabi:
1-
Dari Sahal bin Sa’ad pada sebuah hadis, beliau berkata: “Suatu hari aku
mendapati Rasul duduk-duduk dengan para sahabat beliau di Saqifah Bani Saidah,
lantas beliau bersabda: “Berilah kami minum, wahai Sahal!”. Kemudian aku
keluarkan gelas ini dan kuberi minum mereka dengannya”. (Lantas perawi berkata)
Kemudian Sahal mengeluarkan gelas tersebut dan memberi kami minum dengan
menggunakan gelas tersebut. Dia berkata: “Kemudian Umar bin Abdul Aziz
memintanya, dan iapun lantas memberikannya kepadanya”. (Lihat: Kitab Shohih
al-Bikhari jilid 6 halaman 352 dalam kitab al-Asyrabah, Kitab Shohih al-Muslim
jilid 6 halaman 103 dalam bab Ibahat an-Nabidz lam Yasytari wa lam Yashir
Muskiran).
2-
Dari Anas: “Sesungguhnya gelas Nabi telah pecah. Kemudian pecahan tadi diikat
dengan rantai perak. Berkata ‘Ashim: Aku melihat gelas itu dan minum
menggunakan gelas tersebut” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 4 halaman 47
dalam bab Bad’ul Khalq).
3-
Abu Burdah berkata: “Abdullah bin Salam berkata kepadaku: Engkau akan kuberi
minum dengan menggunakan gelas yang pernah dipakai Nabi” (Lihat: Kitab Shohih
al-Bukhari jilid 6 halaman 352 dalam kitab al-Asyribah).
4-
Dari Shofiyah binti Buhrah, beliau berkata: “Pamanku Faras telah meminta kepada
Nabi sebuah piring yang pernah dilihatnya dipakai makan oleh Nabi. Lantas
beliau memberikannya kepadanya”.
Dia berkata: Dahulu, Umar jika datang kepada kami, ia akan mengatakan: “Keluarkan buatku piring Rasulullah. Lantas kukeluarkan piring tersebut, kemudian ia memenuhinya dengan air Zamzam, dan meminum sebagian darinya, lantas selebihnya, ia percikkan ke wajahnya” (Lihat: Kitab al-Ishobah jilid 3 halaman 202 dalam huruf Fa’ pada bagian pertama berkaitan dengan (tarjamah) Ibnu Faras nomer ke-6971, Kitab Usud al-Ghabah jilid 4 halaman 352 pada huruf Fa’, Faras ‘Amm (paman) Shofiyah nomer ke-4202, dan Kitab Kanzul Ummal jilid 14 halaman 264).
Dia berkata: Dahulu, Umar jika datang kepada kami, ia akan mengatakan: “Keluarkan buatku piring Rasulullah. Lantas kukeluarkan piring tersebut, kemudian ia memenuhinya dengan air Zamzam, dan meminum sebagian darinya, lantas selebihnya, ia percikkan ke wajahnya” (Lihat: Kitab al-Ishobah jilid 3 halaman 202 dalam huruf Fa’ pada bagian pertama berkaitan dengan (tarjamah) Ibnu Faras nomer ke-6971, Kitab Usud al-Ghabah jilid 4 halaman 352 pada huruf Fa’, Faras ‘Amm (paman) Shofiyah nomer ke-4202, dan Kitab Kanzul Ummal jilid 14 halaman 264).
Apa
beda antara gelas biasa yang tidak pernah dipakai oleh Rasul dengan gelas bekas
bibir Rasul sehingga menyebabkan para sahabat mulia yang tergolong Salaf Saleh
merebutkannya? Apakah perbatan ini tidak tergolong melebih-lebihkan Rasul yang
menyebabkan orang terjerumus ke dalam kesyirikan? Apakah kaum Wahaby berani
menyatakan bahwa perbuatan tercela (versi Wahabi) itu juga diajarkan oleh para
sahabat yang tergolong Salaf Saleh? Mereka harus konsisten dengan ajaran
Wahabismenya dengan menyatakan bahwa perbatan itu adalah syirik, yang
meniscayakan bahwa para sahabat telah mengajarkan kesyirikan kepada kita.
C-
Tabarruk para Sahabat dari tempat tangan dan bibir Nabi:
1-
Dalam sebuah kisah yang berkaitan dengan kedatangan Nabi ke rumah Abu Ayyub
al-Anshari sewaktu beliau baru berhijrah ke Madinah, Abu Ayyub berkata kepada
Beliau: “Kami menyiapkan untuk beliau makan malam dan lantas mengirim
(hidangan) baginya. Sehingga jika beliau mengembalikan sisa-sisa (makanan)nya
maka aku dan Ummu Ayyub akan mengusap-usap bekas tangan beliau dan memakannya,
untuk mengharap berkah. Hingga akhirnya suatu malam, kami mengirim buat beliau
makanan yang terdapat bawang merah dan bawang putih di dalamnya. Lantas Rasul
menolaknya, sehingga kami tidak mendapati bekas tangan beliau. Akhirnya
kudatangi beliau dengan perasaan takut. Lantas kutanyakan: Wahai Rasulullah,
demi ayahku, engkau dan ibuku, engkau telah menolak hidanganmu sehingga kami
tidak mendapati bekas tanganmu? Lantas beliau menjawab: Aku mendapatkan bau
pohon ini (bawang). Dikarenakan aku adalah lelaki yang selalu bermunajat (maka
menjauhinya). Adapun kalian, makanlah darinya…”. (Lihat: Kitab al-Bidayah wa
an-Niayah jilid 3 halaman 201, Kitab Sirah Ibnu Hisyam jilid 2 halaman 144 dan
Kitab ad-Dala’il karya al-Baihaqi jilid 2 halaman 510)
2-
Dari Anas: “Sewaktu Rasul memasuki rumah Ummu Sulaim, beliau mendapati di rumah
tersebut terdapat Qirbah (tempat air dari kulit) yang tergantung dan di
dalamnya terdapat air. Kemudian beliau mengambilnya dan meminum langsung dari
bibir (Qirbah), dengan posisi berdiri. Lantas Ummu Sulaim mengambilnya dan
memotong bibir Qirbah tadi yang kemudian disimpannya” (Lihat: Kitab Musnad Imam
Ahmad bin Hanbal jilid 7 halaman 520 hadis ke-26574 dan atau Kitab at-Thobaqaat
jilid 8 halaman 213)
3-
Dari Ummu ‘Amir –nama aslinya Fakihah atau Asma’- binti Yazid bin as-Sakan,
beliau berkata: “Aku melihat Rasulullah melaksanakan shalat maghrib di masjid
kami. Lantas aku pergi ke rumahku dan membawakan daging dan roti. Lantas
kukatakan: Makanlah!? Lantas beliau bersabda kepada para sahabatnya: Silahkan
makan!? Akhirnya beliau bersama para sahabat beliau yang datang makan
bersama…lantas kukatakan: ????” (Lihat: Kitab al-Ishobah jilid 4 halaman 471
pada huruf ‘Ain di bagian pertama, berkaitan dengan (tarjamah) Ummu ‘Amir pada
nomer 1374 dan atau Kitab at-Thobaqaat jilid 8 halaman 234).
4-
Dari Abdurrahman bin Abi Umrah yang diriwayatkan dari neneknya, Ummu Kultsum.
Beliau berkata: “Sewaktu Rasul memasuki rumahku, beliau mendapati Qirbah
tergantung yang berisi air. Lantas beliau meminum darinya. Kemudian kupotong
bibir Qirbah dan lantas kuangkat, mengharap berkah dari bekas bibir Rasulullah”
(Lihat: Kitab Sunan Ibnu Majah jilid 2 halaman 1132 dan atau Kitab Usud
al-Ghabah jilid 5 halaman 539 dalam huruf Kaf mengenai (tarjamah) Kultsum pada
nomer 7243)
Pertanyaan
yang sama juga bisa dilontarkan dan harus dijawab oleh kaum Wahaby, bahwa
apakah perbuatan semacam itu (tabarruk dari peninggalan Rasul) tergolong
Syirik? Apakah hal itu meniscayakan bahwa para Sahabat yang tergolong Salaf
Saleh telah mengajarkan kepada kita kesyirikan? Beranikah kaum Wahabi menvonis
para sahabat di atas tadi telah melakukan kesyirikan? Mana bukti bahwa ajaran
Salafy (yang pada hakekatnya Wahaby itu) hendak menumbuhkan dan menyebarkan
ajaran Salaf Saleh? Salaf Saleh yang mana yang hendak mereka hidupkan
ajarannya, padahal segenap Salaf Saleh membolehkan tabarruk –yang dinyatakan
syirik oleh kaum Wahaby- itu? [Sastro H]
Bersambung….
Masjid dan Makam Suci Nabi
Jika
apa yang dimiliki Rasul sama dengan milik kebanyakan orang, lantas kenapa dia
meminta kain Rasul untuk mendapat ketentraman (isti’nas)? Dan buat apa air
bekas siraman kepala Rasul itu disimpan dan bahkan dijadikan sarana permohonan
kesembuhan? Jika itu semua masuk ketegori syirik, maka dari sekarang,
selayaknya kaum Salafy tidak lagi mengaku sebagai penghidup ajaran dan manhaj
Salaf Saleh, tetapi penghidup ajaran Khalaf Thaleh (lawan Salaf Saleh).
———————————
Mengambil Berkah (Tabarruk) Merupakan Perbuatan Bid’ah atau
Syirik? (Bag V)
(Tabarruk Para Sahabat dari Peninggalan dan Tempat Shalat
Nabi)
Untuk
lebih menguatkan akan argumentasi diperbolehkannya tabarruk dalam syariat Nabi
Muhammad saw, maka di sini akan kita lanjutkan kajian kita pada telaah
hadis-hadis yang menyebutkan bahwa para Salaf Saleh telah bertabarruk kepada
peninggalan Rasul, pasca wafat beliau. Dimana semua itu selama ini dianggap
sebagai bentuk kesyirikan oleh kaum yang mengaku-ngaku sebagai penghidup ajaran
dan manhaj Salaf Saleh. Mari kita sama-sama perhatikan secara teliti uraian
hadis-hadis di bawah ini:
D-
Tabarruk para Sahabat dari tongkat, baju, sandal, cincin dan mimbar Nabi:
1-
Diriwayatkan dari Muhammad bin Jabir, berkata: Aku mendengar ayahku berkisah
tentang kakekku, bahwa beliau adalah delegasi pertama Nabi dari Bani hanafiyah.
Suatu saat kudapati dia menyiram kepalanya dan berkata: “Duduklah wahai saudara
penghuni Yamamah, siramlah kepalamu!”. Lantas kusiram kepalaku dengan air bekas
siraman Rasulullah…maka aku berkata: “Wahai Rasulullah, berilah aku potongan
dari pakaianmu agar aku dapat merasakan ketentraman. Lantas beliau
memberikannya kepadaku. Lantas berkata Muhammad bin Jabir: Ayahku berkata bahwa
kami biasa menyiramkannya buat orang sakit untuk memohon kesembuhan”. (Lihat:
Al-Ishabah 2/102 huruf Sin bagian pertama, tarjamah Sayawis Thalq al-Yamani
nomer 3626)
Jika apa yang dimiliki Rasul sama dengan milik kebanyakan orang, lantas kenapa dia meminta kain Rasul untuk mendapat ketentraman (isti’nas)? Dan buat apa air bekas siraman kepala Rasul itu disimpan dan bahkan dijadikan sarana permohonan kesembuhan? Jika itu semua masuk ketegori syirik, maka dari sekarang, selayaknya kaum Salafy tidak lagi mengaku sebagai penghidup ajaran dan manhaj Salaf Saleh, tetapi penghidup ajaran Khalaf Thaleh (lawan Salaf Saleh).
Jika apa yang dimiliki Rasul sama dengan milik kebanyakan orang, lantas kenapa dia meminta kain Rasul untuk mendapat ketentraman (isti’nas)? Dan buat apa air bekas siraman kepala Rasul itu disimpan dan bahkan dijadikan sarana permohonan kesembuhan? Jika itu semua masuk ketegori syirik, maka dari sekarang, selayaknya kaum Salafy tidak lagi mengaku sebagai penghidup ajaran dan manhaj Salaf Saleh, tetapi penghidup ajaran Khalaf Thaleh (lawan Salaf Saleh).
2-
Diriwayatkan dari Isa bin Thahman, berkata: Anas menyuruh untuk mengeluarkan
sepasang sandal yang memiliki dua tali, sedang kala itu aku berada di samping
Anas. Lantas kudengar Tsabit al-Banani berkata: “Itu adalah sandal Rasul”.
(Lihat: Shohih Bukhari 7/199, 4/101, al-Bidayah wa an-Nihayah 6/6 dan Thabaqoot
karya Ibnu Sa’ad 1/478)
Jika sandal Rasul sama dengan sandal-sandal manusia lain yang tidak layak disimpan dan ditabarruki, lantas buat apa sahabat menyimpannya? Apakah sahabat kurang pekerjaan sehingga menyimpan sandal yang sudah tidak dipakai, atau bahkan sudah rusak? Tentu ada hikmah dibalik penyimpanan tersebut, salah satunya adalah untuk mengambil berkah dari Rasul, melalui sandal beliau.
Jika sandal Rasul sama dengan sandal-sandal manusia lain yang tidak layak disimpan dan ditabarruki, lantas buat apa sahabat menyimpannya? Apakah sahabat kurang pekerjaan sehingga menyimpan sandal yang sudah tidak dipakai, atau bahkan sudah rusak? Tentu ada hikmah dibalik penyimpanan tersebut, salah satunya adalah untuk mengambil berkah dari Rasul, melalui sandal beliau.
3-
Dalam sebuah riwayat, Rasul bersabda: “Barangsiapa yang bersumpah di atas
mimbarku dan dia berbohong walaupun terhadap selainnya maka selayaknya ia
bersiap-siap mendapat tempat di neraka” (Lihat: Musnad Ahmad bin Hambal 4/357
hadis ke-14606 dan Fathul Bari 5/210).
Ini semua membuktikan bahwa betapa sakralnya mimbar Rasul, menurut lisan Rasul sendiri, dan para sahabatpun meyakini hal itu. Terbukti bahwa Zaid bin Tsabit takut untuk bersumpah di mimbar Rasul ketika menghukumi Marwan. (Lihat: Kanzul Ummal karya al-Muttaqi al-Hindi al-Hanafi 16/697 hadis ke-46389). Bukan hanya itu, dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Yazid bin Abdullah bin Qoshith menjelaskan bahwa; “Aku melihat para sahabat Nabi sewaktu hendak meninggalkan masjid lantas mereka menyentuh pucuk mimbar yang menonjol yang (lantas dikemudian hari terletak) di sisi kanan kubur kemudian mereka menghadap kiblat dan berdoa” (Lihat: at-Thabaqot al-Kubra 1/254 tentang mimbar Rasul). Bahkan dalam riwayat Ibrahim bin Abdurrahman bin Abdul Qori menyebutkan bahwa; beliau melihat Umar meletakkan tangannya ke tempat duduk Nabi di atas mimbar, lantas mengusapkannya ke mukanya. (Lihat: at-Thabaqot al-Kubra 1/254 tentang mimbar Rasul dan ats-Tsuqoot karya Ibnu Habban halaman 9). Jika kaum Wahaby (Salafy gadungan) selalu menyatakan syirik buat pengambil berkah –dari para penziarah yang datang ke Masjid Nabawi di kota Madinah- dari mimbar Rasul, maka apakah layak kelompok yang berpegangan teguh kepada ‘ajaran aneh sang pengkhianat’, Muhammad bin Abdul Wahhab, untuk mengaku sebagai “penghidup Sunah menurut ajaran Salaf Saleh”? Ataukah mereka lebih layak disebut sebagai “penghidup bid’ah menurut ajaran Khalaf Thaleh (seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Albani, Bin Baz, Utsaimin, Aali Syeikh dsb)”?
Ini semua membuktikan bahwa betapa sakralnya mimbar Rasul, menurut lisan Rasul sendiri, dan para sahabatpun meyakini hal itu. Terbukti bahwa Zaid bin Tsabit takut untuk bersumpah di mimbar Rasul ketika menghukumi Marwan. (Lihat: Kanzul Ummal karya al-Muttaqi al-Hindi al-Hanafi 16/697 hadis ke-46389). Bukan hanya itu, dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Yazid bin Abdullah bin Qoshith menjelaskan bahwa; “Aku melihat para sahabat Nabi sewaktu hendak meninggalkan masjid lantas mereka menyentuh pucuk mimbar yang menonjol yang (lantas dikemudian hari terletak) di sisi kanan kubur kemudian mereka menghadap kiblat dan berdoa” (Lihat: at-Thabaqot al-Kubra 1/254 tentang mimbar Rasul). Bahkan dalam riwayat Ibrahim bin Abdurrahman bin Abdul Qori menyebutkan bahwa; beliau melihat Umar meletakkan tangannya ke tempat duduk Nabi di atas mimbar, lantas mengusapkannya ke mukanya. (Lihat: at-Thabaqot al-Kubra 1/254 tentang mimbar Rasul dan ats-Tsuqoot karya Ibnu Habban halaman 9). Jika kaum Wahaby (Salafy gadungan) selalu menyatakan syirik buat pengambil berkah –dari para penziarah yang datang ke Masjid Nabawi di kota Madinah- dari mimbar Rasul, maka apakah layak kelompok yang berpegangan teguh kepada ‘ajaran aneh sang pengkhianat’, Muhammad bin Abdul Wahhab, untuk mengaku sebagai “penghidup Sunah menurut ajaran Salaf Saleh”? Ataukah mereka lebih layak disebut sebagai “penghidup bid’ah menurut ajaran Khalaf Thaleh (seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Albani, Bin Baz, Utsaimin, Aali Syeikh dsb)”?
Guna
mempersingkat tulisan maka kami hanya menyebutkan beberapa hadis saja. Namun,
di sini akan kita singgung beberapa riwayat beserta rujukannya dengan harapan
para pembaca yang budiman dapat merujuk kembali ke teks aslinya.
Dalam
beberapa riwayat dan hadis lain disebutkan bahwa, ada beberapa hadis seperti
yang membahasa tentang Anas bin Malik yang dikubur dengan tongkat Rasul (Lihat:
al-Bidayah wa an-Nihayah 6/6), para sahabat mengambil berkah dari cincin Rasul
dengan meniru bentuknya (Lihat: Shahih Bukhari 7/55, Shohih Muslim 3/1656,
an-Nasa’i 8/196, Musnad Ahmad bin Hanbal 2/96 hadis ke-472), para sahabat yang
mengambil berkah dari sarung Rasul dengan memakainya secara bergilir dan
dijadikannya kafan (Lihat: Shahih Bukhari 7/189, 2/98, 3/80, 8/16, Sunan Ibnu
Majah 2/1177 dan Musnad Ahmad bin Hambal 6/456 hadis ke-22318, Fathul Bari
3/144 tentang hadis 1277), Muawiyah bin Abi Sufyan yang bersikeras membeli
selendang Rasul untuk dibawa mati dan menjadi kafannya (Lihat: Tarikh Islam
karya adz-Dzahabi 2/412, as-Sirah al-Halabiyah 3/242 dan Tarikh Khulafa’ karya
as-Suyuthi hal:19), hadis Ummu Athiyah tentang kehadiran Rasul ketika anak
putrinya meninggal dan mengambil berkah dari sarungnya (Lihat: Shohih Bukhari
2/74 kitab Jana’iz bab pemberian Kafur, Shohih Muslim 2/647, Musnad Ahmad 7/556
hadis ke-26752, Sunan an-Nasa’i 4/31 dan as-Sunan al-Kubra 3/547 bab 34 hadis
ke-6634 dan atau 4/6 bab 72 halaman 6764), dan masih banyak lagi yang akan bisa
kita dapati pada edisi lengkap tulisan ini. Nantikan.
E-
Tabarruk para Sahabat dari Tempat Shalat Nabi:
1-
Dari Musa bin Uqbah, beliau berkata: “Aku melihat Salim bin Abdullah bingung
memilih tempat di jalanan untuk melaksanakan shalat. Dikatakan bahwa dahulu
ayahnya pernah melaksanakan shalat di tempat itu. Dan ia pernah melihat bahwa
Rasul juga pernah melaksanakan shalat di tempat itu”. Nafi’ berkata bahwa Ibnu
Umar menjelaskan bahwa Rasulullah pernah melaksanakan shalat di tempat-tempat
itu. Lantas kutanya kepada Salim karena aku tak pernah melihat Salim kecuali
dia mengikuti Nafi’ dalam (memanfaatkan) semua tempat-tempat yang ada, kecuali
mereka berdua berbeda dalam pada tempat sujud (masjid) sebagaimana kemuliaan
alat putar penggiling (riha’). (Lihat: Shohih Bukhari 1/130, Al-ishobah 2/349
pada huruf ‘Ain’ pada bagian pertama, tarjamah Abdullah bin Umar, nomer 4834,
Al-Bidayah wa an-Nihayah 5/149 dan Kanzul Ummal karya Muttaqi al-Hindi
al-Hanafi 6/247)
Dari hadis di atas itulah akhirnya Ibnu Hajar dalam mensyarahinya mengatakan; “Dari Shoni’ bin Umar dapat diambil pelajaran tentang disunahkannya mengikuti peninggalan dan kesan Nabi untuk bertabarruk padanya”. (Lihat: Fathul Bari 1/469, dan menurut as-Shorim: 108 dinyatakan bahwa Imam Malik menfatwakan; “Sunnah melakukan shalat di tempat-tempat yang pernah dibuat shalat oleh Nabi. Pernyataan yang sama juga dapat di kitab al-Isti’ab yang sebagai catatan kaki dari Al-Ishabah tentang Abullah bin Umar)
Tetapi pada kenyataannya, kenapa para muthawwi’ (rohaniawan Wahaby) berusaha menghalang-halangi para jamaah haji yang ingin bertabarruk dan melakukan shalat di Gua Hira’ tempat menyendiri Rasul yang beliau pakai untuk beribadah, termasuk shalat di sana, dengan alasan Rasul dan Salaf Saleh tidak pernah memberi contoh hal tersebut?
Dari hadis di atas itulah akhirnya Ibnu Hajar dalam mensyarahinya mengatakan; “Dari Shoni’ bin Umar dapat diambil pelajaran tentang disunahkannya mengikuti peninggalan dan kesan Nabi untuk bertabarruk padanya”. (Lihat: Fathul Bari 1/469, dan menurut as-Shorim: 108 dinyatakan bahwa Imam Malik menfatwakan; “Sunnah melakukan shalat di tempat-tempat yang pernah dibuat shalat oleh Nabi. Pernyataan yang sama juga dapat di kitab al-Isti’ab yang sebagai catatan kaki dari Al-Ishabah tentang Abullah bin Umar)
Tetapi pada kenyataannya, kenapa para muthawwi’ (rohaniawan Wahaby) berusaha menghalang-halangi para jamaah haji yang ingin bertabarruk dan melakukan shalat di Gua Hira’ tempat menyendiri Rasul yang beliau pakai untuk beribadah, termasuk shalat di sana, dengan alasan Rasul dan Salaf Saleh tidak pernah memberi contoh hal tersebut?
2-
Ibnu Atsir berkata bahwa, Ibnu Umar adalah pribadi yang seringnya selalu
mengikuti kesan dan peninggalan Rasulullah saw. Sehingga nampak beliau berdiam
di tempat (Rasul pernah berdiam di situ), dan melakukan shalat di tempat yang
Rasul pernah melakukan shalat di situ, dan sampai pohon yang pernah disinggahi
oleh Nabi (untuk berteduh) pun disinggahinya, bahkan beliau (Ibnu Umar) selalu
menyiraminya agar tidak mati kekeringan. (Lihat: Usud al-Ghabah 3/340, tarjamah
Abdullah bin Umar, nomer 3080. Dan hal serupa –dengan sedikit perbedaan
redaksi- juga dapat dilihat dalam kitab Musnad Imam Ahmad bin Hambal 2/269
hadis ke-5968, Shohih Bukhari 3/140, Shohih Muslim 2/1981)
Apakah tabarruk Ibnu Umar tersebut tergolong syirik dan berlebih-lebihan (kultus) terhadap Rasul? Apakah mungkin pribadi mulia nan agung seperti Ibnu Umar melakukan perbuatan syirik yang dicela oleh Rasul? Jika ya, lantas kenapa para Salaf Saleh tidak pernah menegurnya, bukankah diamnya mereka berarti meridhoi hal yang sesat? Beranikah kaum Wahaby menyatakan bahwa itu adalah Syirik? Ataukah mereka terpaksa melegalkan perbuatan yang mereka anggap syirik itu?
Apakah tabarruk Ibnu Umar tersebut tergolong syirik dan berlebih-lebihan (kultus) terhadap Rasul? Apakah mungkin pribadi mulia nan agung seperti Ibnu Umar melakukan perbuatan syirik yang dicela oleh Rasul? Jika ya, lantas kenapa para Salaf Saleh tidak pernah menegurnya, bukankah diamnya mereka berarti meridhoi hal yang sesat? Beranikah kaum Wahaby menyatakan bahwa itu adalah Syirik? Ataukah mereka terpaksa melegalkan perbuatan yang mereka anggap syirik itu?
3-
Suatu saat, datang Atban bin Malik -salah seorang sahabat Rasul dari Anshar
yang mengikuti perang Badr bersama Rasul- kepada Rasul seraya berkata: “Wahai
Rasulullah, telah lemah penglihatanku maka aku melakukan shalat bersama kaumku.
Jika hujan turun dan menggenangi lembah yang membentang antara tempatku denga
tempat mereka sehingga aku tak dapat melakukan shalat bersama mereka di masjid
mereka. Wahai Rasul, aku mengharap engkau datang mengunjungiku dan melaksanakan
shalat di rumahku.” Lantas Rasululah saw bersabda kepadanya: “Aku akan melaksanakannya,
insya-Allah.” Atban berkata: “Keesokan harinya, di waktu siang, datanglah Rasul
besama Abu Bakar. Kemudian Rasul meminta izin kepadaku dan akupun memberikannya
izin. Beliau tidak duduk ketika memasuki rumah dan langsung bersabda; “Di bagian
manakah engkau ingin aku mengerjakan shalat di rumahmu?”. Lantas aku tunjuk
satu sudut yang berada di rumahku. Lantas Rasulullah berdiri dan bertakbir.
Kamipun turut berdiri dan mengambil saf untuk melakukan shalat dua rakaat dan
membaca salam”. (Lihat: Shohih Bukhari 1/115, 170 dan 175. Shohih Muslim 1/445,
61 dan 62)
Anehnya,
dalam menetapkan pelarangan bertabarruk pada tempat-tempat dan benda-benda yang
dianggap sakral (muqaddas), al-Ulyani dalam kitab “at-Tabarruk al-Masyru’ hal:
68-69” berargumen dengan hadis Atban bin Malik yang disinyalir dalam kitab
shohih Bukhari dan Shohih Muslim di atas (hadis ketiga) untuk menetapkan
‘pengharaman tabarruk pada tempat dan benda’. Dia dalam kitab itu menyatakan:
“Hal itu (sebagaimana yang diceritakan dalam hadis di atas) bukan berarti
menunjukkan bahwa Atban hendak bertabarruk (mencari berkah) dari tempat yang
pernah dibuat shalat oleh Rasul. Akan tetapi ia hanya ingin menetapkan (iqrar)
kepada Rasul untuk shalat berjamaah di rumahnya ketika dia tidak mampu untuk melakukan
shalat jamaah, sewaktu terjadi genangan di lembah itu. Maka di saat itu ia
hendak meresmika masjid di rumahnya dengan mengundang Rasul. Atas dasar itu
akhirnya Bukhari memberikan judul dalam kumpulan hadis semacam ini dengan
sebutan: “Bab Masjid-Masjid di Rumah” (Babul Masajid fil Bayt). Dan sebagaimana
yang dilakukan oleh al-Barra’ bin ‘Azib yang melakukan shalat di masjid yang
berada di rumahnya –ini adalah ajaran fikihnya- dimana yang dimaksudkan adalah,
Rasul telah mensunahkan untuk melakukan shalat berjamaah di rumah ketika
sewaktu terdapat hajat. Sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat lain yang
bernama al-Barra’ bin ‘Azib yang melaksanakan shalat jamaah di rumahnya sedang
(Rasul) tidak menkritisinya. Padahal dia hidup di zaman hidupnya Rasul (tasyri’).
Boleh jadi maksud Atban tadi adalah ingin menetapkan arah kiblat yang benar,
karena Rasul tidak akan menetapkan kesalahan jika ia melaksanakan shalat
menghadap bukan ke arah kiblat”. Ini adalah kemungkinan interpretasi yang
diberikan al-Ulyani dari hadis di atas tadi. untuk mengkritisinya maka marilah
kita perhatikan poin-poin di bawah ini:
1-
Tidak diragukan lagi bahwa sahabat Atban menginginkan untuk melaksankan shalat
berjamaah di rumahnya. Ini adalah salah satu sebab dari kemunculan hadis tersebut.
Akan tetapi bukan sebab satu-satunya, sebab keinginannya untuk bertabarruk
kepada Rasulpun secara jelas nampak dalam teks hadis tersebut. Dan Nabi pun
memahami apa yang diinginkan oleh Atban. Oleh karenanya beliau lantas
menanyakan kepada Atban tentang tempat dalam rumahnya yang diinginkannya untuk
dilakukan shalat oleh Rasul. Jika apa yang dinyatakan oleh al-Ulyani benar maka
seharusnya Rasul langsung melakukan shalat di rumahnya, tanpa menanyakan dengan
redaksi dan model pertanyaan semacam itu.
2-
Kalaupun apa yang dinyatakan al-Ulyani benar bahwa tujuan sahabat ‘Atban tadi
adalah ingin memastikan kebenaran arah kiblat karena ia tidak dapat melihat
dengan baik, dengan cara mendatangkan Rasul ke rumahnya, maka hal inipun sulit
diterima. Dikarenakan untuk memperoleh arah kiblat yang benar oleh ‘Atban yang
penglihatannya lemah, bisa saja ia meminta tolong anggota keluarga,
sanak-famili ataupun melibatkan sahabat Rasul lain untuk memberikan arahan yang
sesuai arah kiblat yang benar, bukan dengan memangil Rasul, apalagi lantas
dilanjutkan dengan pelaksanaan dua rakaat shalat oleh Rasul. Dan dikarenakan
Rasul hanya shalat dua rakaat (diwaktu siang sebagaimana teks hadis) maka ini
membuktikan bahwa shalat yang dilakukan Rasul adalah shalat sunah, bukan shalat
wajib. Oleh karenanya, jika Rasul hanya berfungsi sebagai penunjuk arah kiblat
yang benar saja lantas buat apa beliau melakukan shalat sunah, cukup
memberitahu dengan lisan dan tunjuk saja.
3-
Kami tidak yakin intelektual orang seperti al-Ulyani lebih bagus dari pribadi
seperti al-Allamah Ibnu Hajar al-Asqolani, termasuk dalam memahami hadis di
atas tadi. dan kita tahu bahwa Ibnu Hajar menyatakan dalam syarah Shohih
Bukharinya yang berjudul “Fathul Bari” dengan pernyataannya sebagai berikut:
A-
“Sewaktu Nabi diundang dan diminta untuk melakukan shalat, hal itu tiada lain
adalah agar pemilik rumah dapat mengambil berkah (tabarruk) dari tempat shalat
tadi. Maka dari itu beliau bertanya tentang tempat yang memang dikhususkan
untuk itu…”. (Lihat: Fathul Bari 1/433)
B-
“Dalam hadis ‘Atban yang meminta Nabi melaksanakan shalat di rumahnya dan
Nabipun memenuhi keinginan tersebut adalah bukti pembolehan (hujjah) akan
tabarruk atas kesan dan peninggalan para manusia shaleh”. (Lihat: Fathul Bari
1/469)
Hadis-hadis
semacam itu (Hadis ‘Atban) banyak akan kita dapati dalam kitab-kitab terkemuka
lain. Untuk mempersingkat, kita akan sebutkan kitab, jilid dan halaman saja
untuk dirujuk oleh para pembaca yang budiman.
Jika
kita memberi sedikit toleransi terhadap pernyataan al-Ulyani berkaitan dengan
hadis ‘Atban, dan memberi secuil kemungkinan kebenaran pada perkiraannya karena
belas kasihan kita, maka bagaimana pendapat al-Ulyani dengan hadis-hadis lain
yang secara jelas menyatakan keinginan para sahabat untuk bertabarruk kepada
Rasul? Sebagai contoh, seperti hadis Ummu Sulaim dan beberapa sahabat lain yang
dapat kita temui hadis tersebut dalam kitab; Sunan an-Nasa’i 1/268, kitab
al-Masajid, bab 43 shalat ‘alal hashir hadis ke-816, atau dalam kitab Sunan
Ibnu Majah 1/249 kitab al-Masajid, bab alMasajid fid Daur hadis ke-756, atau
kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal 3/586 hadis ke 11920 cetakan Muassasah
at-Tarikh al-Arabi dan dalam Musnad Imam Ahmad 3/130 terdapat dua sanad yang
berbeda, atau lihat kitab Musnad Anas bin Malik hadis ke-11920. dengan jelas
hadis Ummu Sulaim tadi menyatakan bahwa ia ingin bertabarruk dari Rasulullah
saw, tidak seperti hadis ‘Atban yang masih mungkin disalahpahami oleh
al-‘Ulyani.
Sebagian
Wahaby berargumen bahwa tidak ada perbedaan antara masjid Nabawi dengan
masjid-masjid yang lain. Ini pernyataan yang cukup aneh yang keluar dari
makhluk yang mengaku sebagai umat Muhammad. Betapa tidak, walaupun masjid Nabi
di kota Madinah telah terjadi perluasan dan perombakan, namun wilayah bangunan
asli masjid Nabawi masih terjaga dan dapat dikenali oleh banyak orang. Di
bilangan bangunan asli itulah, dahulu Nabi beserta para sahabat mulai beliau
melakukan shalat dan ibadah ritual lainnya. Bagaimana masjid Nabawi dinyatakan
sama dengan masjid-masjid biasa lainnya sedang tempat bekas shalat Nabi yang
bukan masjid saja dicari oleh para sahabat untuk pengambilan berkah dengan
turut melakukan shalat di tempat berkah tersebut? Dan di kitab-kitab standart
Ahlusunah wal jamaah dapat kita jumpai berbagai riwayat yang menjelaskan
tentang keutamaan masjid Nabawi dibanding masjid-masjid lainnya, selain
masjidil Haram tentunya. [Sastro H]
Bersambung…
Apakah
kaum Wahaby memiliki keberanian untuk menyatakan bahwa para sahabat mulia Rasul
yang telah bertabarruk (mencari berkah) terhadap kuburan Rasul lantas menjuluki
mereka sebagai “para penyembah kubur” (Kuburiyuun), sebagaimana istilah
ini sering diberikan kepada kaum muslimin yang suka mengambil berkah dari kubur
Nabi dan para manusia kekasih Allah (Waliyullah) lainnya? Kalaulah
secara esensial pengambilan berkah dari kubur adalah perbuatan syirik maka
setiap pelakunya harus diberi titel musyrik, tidak peduli sahabat Rasul ataupun
orang awam biasa. Jika tidak, ini sebagai bukti bahwa mereka (Wahaby) tidak
konsekuen dan konsisten dengan doktrin ajaran sektenya yang masih sarat dengan
kerancuan itu. Mana konsistensi mereka terhadap ajaran mereka (Wahabisme) yang
mengharamkan pengambilan berkah terhadap kubur, jika mereka merasa benar
sendiri? Buktikanlah wahai pengikut sekte yang mengaku paling monoteis (muwahhid)!!!
————————–
Mengambil Berkah (Tabarruk) Merupakan Perbuatan Bid’ah atau
Syirik? (Bag-6)
(Mengambil Berkah dari Pusara (Kuburan) Rasul)
Pada
kajian lalu telah kita sebutkan beberapa hadis yang menjelaskan bahwa para
Salaf Saleh telah melakukan pengambilan berkah dari peninggalan-peninggalan
Rasul seperti sandal, tongkat, baju, bahkan mereka selalu mengusap-usap mimbar
Rasul dan lantas mengusapkannya ke mukanya, dimana semua itu, kini, jelas-jelas
dilarang oleh para rohaniawan Wahaby terhadap para jama’ah haji yang ingin
melakukannya terhadap mimbar Rasul.
Kajian
dan telaah kita sekarang berkaitan dengan diperbolehkannya pengambilan berkah
(tabarruk) -dalam syariat Rasulullah SAW- yang pernah dicontohkan oleh para
sahabat mulia Rasul. Kali ini, lebih akan kita konsentrasikan pada pembahasan;
‘Tabarruk terhadap Kubur’ yang jelas-jelas dilarang oleh kaum Wahabi, pengikut
ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab yang selama ini mengaku-ngaku penghidup ajaran
Salaf Saleh (Salafy) dan bersikeras untuk diaku sebagai pengikut Ahlusunah wal
Jamaah. Padahal ajaran mereka banyak yang bertentangan dengan ajaran Salaf
Saleh dan prinsip dasar Ahlusunah wal Jamaah, termasuk masalah pembolehan
tabarruk terhadap kubur Rasulullah saw. Kaum muslim yang pernah berziarah ke
makam suci Rasulullah akan dengan jelas mengetahui bagaimana perlakuan para
rohaniawan Wahaby ketika mereka hendak menyentuh –apalagi mengusap-usap-
dinding yang mengitari makam Rasulullah, untuk mencari berkahnya.
F-
Tabarruk Para Sahabat dari Kuburan Nabi:
Pada
kesempatan kali ini, kita akan sebutkan beberapa teks hadis yang jelas-jelas
dengan tegas menjelaskan bahwa para sahabat mulia Rasul yang tergolong Salaf
Saleh telah melakukan tabarruk terhadap kubur (makam) mulia Rasulullah. Sebagai
contoh seperti yang di bawah ini:
1-
Dawud bin Abi Shaleh mengatakan: “Suatu saat Marwan bin Hakam datang ke Masjid
(Nabawi). Dia melihat seorang lelaki telah meletakkan wajahnya di atas makam
Rasul. Kemudian Marwan menarik leher dan mengatakan: “sadarkah apa yang telah
engkau lakukan?”. Kemudian lelaki itu menengok ke arah Marwan (ternyata lelaki
itu adalah Abu Ayyub al-Anshari) dan mengatakan: “Ya, aku bukan datang untuk
seonggok batu, aku datang di sisi Rasul. Aku pernah mendengar Rasul bersabda:
Sewaktu agama dipegang oleh pakarnya (ahli) maka janganlah menagis untuk agama
tersebut. Namun ketika agama dipegang oleh yang bukan ahlinya maka
tangisilah”.” (Lihat: Mustadrak ala as-Shohihain karya al-Hakim
an-Naisaburi Jilid: 4 Halaman: 560 Hadis ke-8571 atau Wafa’ al-Wafa’ karya
Samhudi Jilid: 4 Halaman 1404)
Hadis di atas (dari Hakim an-Naisaburi) telah dinyatakan kesasihahannya oleh adz-Dzahabi. Sehingga tidak ada seorang ahli hadis lain yang meragukannya.
Hadis di atas (dari Hakim an-Naisaburi) telah dinyatakan kesasihahannya oleh adz-Dzahabi. Sehingga tidak ada seorang ahli hadis lain yang meragukannya.
Atas
dasar hadis di atas maka, as-Samhudi dalam kitab Wafa’ al-Wafa’ jilid: 4
halaman: 1404 menyatakan bahwa; “jika sanad hadisnya dinyatakan baik (benar)
maka menyentuh tembok kuburan (makam) tidak bisa dinyatakan makruh”. Jika hukum
makruh saja tidak bisa ditetapkan apalagi hukum haram, sebagai perwujudan dari perbuatan
syirik sebagaimana yang ‘dihayalkan’ oleh kaum Wahaby.
Lantas,
jika apa yang dilakukan Abu Ayyub al-Anshari -seorang sahabat besar Rasul- itu
tergolong perbuatan syirik (yang dinyatakan oleh kaum Wahaby) maka; mungkinkah
seorang sahabat besar semacam beliau melakukan perbuatan syirik? Apakah beliau
tidak mengetahui bahwa apa yang telah diperbuatnya tersebut (tabarruk dari
kubur) tergolong syirik? Beranikah kaum Wahaby menyatakan bahwa Abu Ayyub
al-Anshari pelaku syirik karena tergolong penyembah kubur (quburiyuun)?
Mana bukti bahwa Wahaby membenarkan dan mengikuti metode (manhaj) dan
sepak terjang Salaf Saleh?
2-
Abu Darda’ dalam sebuah riwayat menyebutkan: “Suatu saat, Bilal (al-Habsyi)
bermimpi bertemu dengan Rasul. Beliau bersabda kepada Bilal: “Wahai Bilal, ada
apa gerangan dengan ketidakperhatianmu (jafa’)? Apakah belum datang
saatnya engkau menziarahiku?”. Selepas itu, dengan perasaan sedih, Bilal segera
terbangun dari tidurnya dan bergegas mengendarai tunggangannya menuju Madinah.
Lalu Bilal mendatangi kubur Nabi sambil menangis lantas meletakkan wajahnya di
atas pusara Rasul. Selang beberapa lama, Hasan dan Husein (cucu Rasul) datang.
Lantas Bilal mendekap dan mencium keduanya”. (Lihat: Tarikh Damsyiq
jilid 7 Halaman: 137, Usud al-Ghabah karya Ibnu Hajar Jilid: 1 Halaman: 208,
Tahdzibul Kamal jilid: 4 Halaman: 289, dan Siar A’lam an-Nubala’ karya
Adz-Dzahabi Jilid: 1 Halaman 358)
Lantas
apakah kaum Wahaby lupa siapa Bilal al-Habsyi? Apakah Bilal bukan sahabat mulia
Rasul yang tergolong Salaf Saleh yang harus diikuti? Apakah mungkin Bilal lupa
atau tidak tahu bahwa menangis di atas pusara, apalagi sambil meletakkan muka
di atasnya tergolong syirik atau bid’ah (versi Wahabisme)? Entah siapa yang
harus diikuti, fatwa Muhammad bin Abdul Wahhab (pendiri Wahabisme) seorang
khalaf (lawan Salaf) yang melarang perbuatan itu, ataukah kita harus mencontoh
apa yang dilakukan Bilal dan Abu Ayyub al-Anshari yang keduanya tergolong
sahabat mulia Rasul?
3-
Ibnu Hamlah menyatakan: “Abdullah bin Umar meletakkan tangan kanannya di atas
pusara Rasul dan Bilal pun meletakkan pipinya di atas pusara itu”. (Lihat:
Wafa’ al-Wafa’ Jilid: 4 Halaman: 1405)
Lantas
apa maksud Ibnu Umar dan Bilal meletakkan tangan di pusara Rasul? Kenapa
sekarang jika kita menziarahi Rasul dilarang keras oleh ulama Wahaby untuk
berdiri di hadapan pusara Rasul, apalagi berusaha memegang terali besi penutup
pusara Rasul beserta kedua sahabatnya itu. Pasti akan langsung divonis pelaku
syirik oleh para rohaniawan sekte Wahabi yang berkeliling menjaga kuburan Rasul
dengan disertai tentara itu?
4-
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa; sewaktu Rasulullah dikebumikan,
Fatimah –puteri Rasul satu-satunya- bersimpuh di sisi kuburan Rasul dan
mengambil sedikit tanah makam Rasul kemudian diletakkan dimukanya dan sambil
menangis iapun membaca beberapa bait syair…. (Lihat: al-Fatawa
al-Fiqhiyah karya Ibnu Hajar Jilid: 2 Halaman: 18, as-Sirah an-Nabawiyah jilid:
2 Halaman: 340, Irsyad as-Sari jilid: 3 Halaman: 352, dsb)
Lantas
jika apa yang dilakukan Fatimah tersebut adalah Syirik atau Bid’ah maka kenapa
ia melakukannya? Apakah dia tidak pernah mengetahui apa yang telah diajarkan
oleh ayahnya (Rasulullah)? Apakah mungkin Ali bin Abi Thalib membiarkan
istrinya terjerumus ke dalam kesyirikan dan Bid’ah yang dilarang oleh Rasul
(versi Wahabisme)? Bukankah keduanya adalah keluarga dan sahabat Rasul yang
tergolong Salaf Saleh, yang konon akan diikuti oleh kelompok Wahaby?
5-
Seorang Tabi’in bernama Ibnu al-Munkadir pun pernah melakukannya (bertabarruk
kepada kubur Rasul). Suatu ketika, di saat beliau duduk bersama para
sahabatnya, seketika lidahnya kelu dan tidak dapat berbicara. Lantas beiau
langsung bangkit dan menuju pusara Rasul dan meletakkan dagunya di atas pusara
Rasul kemudian kembali. Melihat hal itu, seseorang mempertanyakan perbuatannya.
Lantas beliau menjawab: “Setiap saat aku mendapat kesulitan, aku selalu
mendatangi kuburan Nabi”. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ Jilid: 2 Halaman: 444)
Atas
dasar hadis-hadis tadi akhirnya as-Samhudi menyatakan dalam kitab Wafa’
al-Wafa’-nya (Jilid: 1 Halaman: 544) bahwa; “Mereka (para sahabat) dan
selainnya (Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in) sering mengambil tanah dari pusara Rasul.
Lantas Aisyah (ummul mukminin) membangunnya dan menutup pusara itu dengan
terali. Dikatakan: Ditutup olehnya (Aisyah) karena menghindari habisnya tanah
pusara dan kerusakan bangunan di atasnya”.
Lantas
masihkah kaum Wahaby yang mengatasnamakan diri sebagai pengikut dan penghidup
ajaran Salaf Saleh (Salafy) itu hendak menuduh kaum muslimin yang bertabarruk
terhadap peninggalan Nabi sebagai pelaku syirik dan bid’ah? Kalaulah secara
esensial pengambilan berkah dari kubur adalah syirik maka setiap pelakunya
harus diberi titel musyrik, tidak peduli sahabat Rasul ataupun orang awam
biasa. Beranikah mereka mengatakan bahwa para Sahabat telah melakukan syirik
karena terbukti mereka telah melakukan tabarruk? Apakah kaum Wahaby memiliki
keberanian untuk menyatakan bahwa para sahabat mulia Rasul yang telah
bertabarruk terhadap kuburan Rasul lantas menjuluki mereka sebagai “para
penyembah kubur” (Kuburiyuun), sebagaimana istilah ini sering diberikan
kepada kaum muslimin yang suka mengambil berkah dari kubur Nabi dan para
manusia kekasih Allah (Waliyullah) lainnya? Jika tidak, ini sebagai bukti bahwa
mereka (Wahaby) tidak konsekuen dan konsisten dengan doktrin ajaran sektenya
yang masih sarat dengan kerancuan itu. Mana konsistensi mereka terhadap ajaran
mereka (Wahabisme) yang mengharamkan pengambilan berkah terhadap kubur, jika
mereka merasa benar sendiri? Buktikanlah wahai pengikut sekte yang mengaku
paling monoteis (muwahhid)!!!
Trus,
bagaimana dengan kuburan para ulama dan manusia-manusia saleh yang dipercaya
sebagai kekasih Ilahi? Bagaimana fatwa para tokoh ulama Ahlusunah wal Jamaah
(non Wahaby) tentang masalah ini? Nantikan kelanjutannya…di up-loadan
selanjutnya
[Sastro
H]
Bersambung…